Archive for the ‘Cerpen’ Category

Hari ini, akhirnya baru sanggup lagi untuk menulis pasca tujuh hari kecelakaan motor yang melukai kaki kanan ku. Makanya, kisah selama lebih kurang tujuh hari tersebut pun dirangkum  dalam tulisan ini.

Kita mulai dari kondisi hati, yha, inilah permasalahan utamanya menurut saya. Lebih kurang selama tujuh hari ini kondisi hati saya sedang galau, benar-benar galau. Sebenarnya saya juga masih belum terlalu jelas dengan konsep galau, apakah itu hanya menyangkut pikiran atau juga hati?, kalau hati juga apakah hanya pada saat hati memikirkan kekasihnya atau hal-hal lain juga bisa?, lalu apakah rindu itu juga termasukgalau?. Karena saya bingung, saya sebut saja keadaan yang saya alami saat ini galau, karena saya lihat galau merupakan kata yang sedang lagi nge-trend nih dikalangan facebooker,..hehe.

Awalnya, keadaan ini saya rasa biasa saja. Jatuh dari motor dan kemudian mendapat luka di kaki sebelah kanan, dan itu pun kata dokter awalnya hanya luka gores dan bengkak saja. Tetapi kondisi saya selama ini sangat fluktuatif, hari ini terasa semakin membaik, kemudian besoknya semakin parah dengan banyaknya bermunculan rasa sakit yang baru disekitar luka tersebut. Lalu kemudian kembali membaik karena sudah bisa berjalan, lalu kemudian kembali hanya bisa terdiam di atas kasur. Hal ini lah yang benar-benar membuat hati saya menjadi galau.

“Ini hanya cobaan dari Allah, toh juga cuma dapat luka seperti ini, bagaimana dengan mereka yang kondisinya lebih parah?”Pikirku mulanya dalam hati sembari memberi semangat tuk diri sendiri. Alhamdulillah shalatku selama sakit juga msih terjaga meski dilakukan dalam keadaan duduk dan dalam tiga hari pertama aku masih sanggup untuk berwudhu walau kemudian hanya bisa bertayammum karena tak sanggup lagi berjalan ke kamar mandi. Melakukan shalat seperti ini awalnya masih membuatku canggung sehingga aku shalat dikala teman sekamar sedang keluar atau sengaja aku suruh keluar dahulu (sedikit kejam,, eheh).

Namun, seiring waktu hati ini kembali di uji dengan pikiran-pikiran lemah. Gara-gara ini aku tidak bisa kuliah apalagi tuntutan tugas yang cukup banyak, kegiatan organisasi juga banyak yang terbengkalai, kondisi badan yang gerah karena tidak bisa mandi, hingga kepada ketidakmampuan melakukan hal-hal yang biasa dilakukan dan akhirnya hanya bisa menyusahkan teman-teman yang lain. Lalu kemudian hati kecilku mengingatkan ini cobaan dan kemudian lidah ini beristighfar. Akan tetapi, terkadang timbul kembali sedikit penyesalan atas musibah ini yang semakin melemahkan kondisi ditambah kerinduan suasana rumah, ibu, adik, dan abang dan teringat kalau saja sakitnya disana pasti aku merasa jauh lebih bahagia sekalipun mendapatkan seribu omelan karena dikatakan tidak hati-hati, itu bahkan terasa sangat membahagiakan.

Lalu, ditengah salah satu shalat yang ku lakukan, entah kenapa aku pun menangis sempat terbesit pikiran tersebut dan betapa lemahnya diriku ini. Lalu kemudian aku diarahkan mengingat Allah sehingga air mataku bertambah deras karena terpikir betapa bodohnya aku sebagai seorang hamba yang bisa menangis karena penyakitnya. Bukankah jika aku ikhlas, penyakit ini bisa menjadi penggugur dosa, bukankan ini sebagai salah satu ajang pembuktian iman ku? Bukankah ini hanya kondisi yang sangat biasa yang aku akan sangat terlihat bodoh dan menyesal karena telah menyia-nyiakan air mata dan pikiran kepada sesuatu yang tidak semestinya?.  Lalu, selesai salam, segera ku hapus cepat-cepat air mata yang masih membasahi wajahku, malu rasanya jika teman-temanku melihatnya.

Selesai shalat, aku baringkan tubuhku dan kubaca dalam hati ayat-ayat hapalanku. Lalu, ditengah kondisi yang tenang (baik hati maupun keributan) tiba-tiba hp ku berbunyi dan sekali lagi aku terkejut, “ummi calling”. Segera ku kuatkan hatiku, kuperbaiki kondisi suaraku yang masih terpengaruhi tangisanku tadi, dan kemudian baru ku angkat teleponnya. Setelah berbalas salam, ibu langsung menanyakan apakah aku sedang sakit. Aku terdiam sesaat lalu kemudian menyatakan tidak, sehat kok, ini buktinya bisa nelpon. Alasan yang bodoh, pikirku, tapi itu otomatis terucap. Lalu, Ibu menyatakan kalau aku sedang sakit karena adikku melihat komentar teman kuliahku di status facebook ku. Dan “Bregggg”, tak bisa berkata-kata lagi. Lalu, karena tak bisa menyembunyikannya lagi ditambah rasa ingin meluapkan perasaan sakit ini akhirnya aku jujur kepada ibu walaupun tidak semuanya aku beritahukan. Alhasil, Ibuku malah menangis dan mengatakan kalau ada kejadian apa-apa seharusnya langsung diberitahu. Dalam hati aku berpikir, mana mungkin aku memberitahumu akan hal ini, aku tahu ini akan menambah beban pikiran mu. Kemudian percakapan panjang lebar yang diiringi suara isak tangis ibu pun terjadi.

Selesai, aku tutup telponnya dengan ucapan terakhir salam dari ibu yang masih juga diiringi isak tangis. Namun, meski risau memikirkan si Ibu, tetapi hati ini menjadi sedikit lebih tenang. The Power of Ummi, pikirku. Kemudian saya makan malam, lalu kemudian minum obat. Tak berapa lama, karena mendesak buang air kecil dan ternyata orang di rumah sedang keluar, saya pun menguatkan diri untuk pergi ke kamar mandi. Alhamdulillah, saya bisa berjalan dengan terbata-bata meski dengan posisi berjalan yang aneh. Dalam hati mungkin memang tidak terlalu senang karena mungkin ini akan seperti kemarin alias fluktuatif. Namun, sedikit rasa senang dirasa memang perlu, minimal untuk pemberi semangat kesembuhan.

Harapan sambungan dari tulisan ini tentunya adalah kesembuhan. Sudah tidak sabar rasanya membuat tips cepat sembuh dan menuliskan kisah nya,, hehehe….

Hari ini. Harapan untuk tulisan di Categori ini (Cerita Hari Ini) awalnya hanya ingin menceritakan kisah-kisah saya yang dirasa sangat menarik dan menyenangkan. Namun apa daya,  saya mesti menuliskan kejadian hari ini walaupun terasa sangat tragis.. (berlinang air mata).

Dapat musibah, Sungguh Sesuatu. Yha, hari ini saya memang mendapatkan musibah penting selama karier hidup saya (gak nahan..). Semua diawali karena keraguan dan ketidakinginikutan, namun bukan berarti ada penyesalan. Saya rasa, saya cukup menikmatinya (walaupun sakit sangat).  Hari ini, saya dan teman-teman satu rumah akan rihlah (jalan-jalan) ke salah satu tempat wisata di Kota Padang,  ke Pantai Air Manis (red: Pantainya Malin Kundang). Saya awalnya mengatakan tidak bisa karena harus menyelesaikan tugas mata kuliah Metode Penelitian Administrasi Negara. Akan tetapi, itu dirasa bukanlah alasan yang cukup logis dan dapat diterima (sebenarnya sih emang bener, karena nih tugas sudah diberikan sekitar 2 minggu yang lalu, tapi dasar sayanya lelet,, heeh). Akhirnya saya pikir-pikir, yasudah lah, saya ikut, toh sepertinya nanti malam masih ada waktu untuk menyelesaikan tugasnya (Begadang,, jangan begadang). Kita semua pun memepersiapkan segala sesuatu yang dirasa perlu, dan kemudian berangkat. Saya dibonceng Irfan, dan yang lain ada tiga motor lagi dengan boncengannya masing-masing (gak usah disebutin,, hehe).

Dan,, kejadian pun di mulai. Sebagai gambaran saja, kondisi jalan menuju Pantai Air Manis bisa dibilang sangat ekstrem meskipun jalannya sudah di aspal. Mengapa? karena jalannya itu mendaki, menurun, mendaki, menurun,,, dan tingkat ketinggiannya juga cukup membuat jantung berdebar. Beberapa jalan mendaki sudah kami lewati dengan baik meskipun cukup menegangkan (maklum, kondisi motor yang kami gunakan menurut saya memang kurang baik, tapi saya gak tahu kalau jalan yang akan dilalui seperti ini). Kemudian di jalan yang menanjak cukup tinggi (lagi) motornya mulai gak kuat dan sempat terhenti namun kami masih bisa jalan terus (alhamdulillah,, huhh). Tetapi-eh,,tetapi tiba di jalan yang menurun, teman saya tersebut seperti kehilangan keseimbangan (jangan2 karena saya berat lagi) dan kami pun terjatuh. Untungnya (untung gak yha?) dia mengarahkannya ke semak-semak di pinggir jalan dan tidak ke aspal. Saat itu, saya dzikir dan hanya pasrah dan kemudian terbang jatuh kedalam semak-semak. Sementara dia (Irfan) juga masuk kedalam semak namun lebih dekat ke jalan. Entah kenapa, saya langsung menguatkan diri dan bangkit berdiri, kemudian melihat keadaannya, dia sepertinya parah (pikirku). lalu saya katakan, “jangan berdiri dulu, biar saja disitu”. Anehnya, tak ada orang yang lewat ketika kami terjatuh dan posisi kami terjatuh adalah posisi “strategis” di mana tidak kelihatan oleh orang-orang yang lalu lalang di jalan tersebut (sebenarnya sih cukup sunyi).

Saya pun naik ke jalan (nih semaknya gak datar, tetapi menurun kayak menuju jurang gitu) dan mengambil telpon seluler dan langsung memencet sembari mencari-cari nomor hp teman yang lain. Posisi kami yang berada di paling belakang, membuat teman-teman yang lain tidak menyadari. Dan akhirnya, setelah mencoba kebeberapa nomor ada juga yang mengangkat dan segera saya suruh ke tempat kami. Saya yang penampilannya tidak mencurigakan (sehabis jatuh) pun tidak mencuri perhatian orang-orang yang lewat meskipun pasti ada yang bertanya sedang apa ditempat beginian?

Teman-teman yang lain pun tiba, lalu kemudian mengangkat Irfan dan kemudian motornya. Setelah memposisikan diri (irfan ternyata masih sanggup berdiri), kami akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah untuk langsung berobat. saya luka gores di bawah lutut plus pembengkakan, sementara Irfan lebih parah karena kakinya juga terkilir plus banyak mengeluarkan darah.

Aneh dan lucu rasanya ketika saya mengingat-ingat kejadian ini, dari niat yang sebenarnya mau tidak ikut hingga perasaan saya yang tidak menyesali kejadian ini, rasanya ini seperti sesuatu. Ditengah kondisi ini saya malah bisa menyelesaikan tugas untuk besok. Padahal, selam 14 hari ditengah kondisi normal bahkan saya gak sanggup. Kalau teman-teman lain bilang “Ini supaya kami cepat gede”,, aneh memang karena perasaan tinggi saya sudah 173 cm dan beratnya 72 kg. Mau gede gimana lagi?. tapi yang jelas mereka hanya berusaha menghibur dan saya rasa saya cukup terhibur ketika membayangkannya.. hhe

Sekian cerita sedih saya di hari ini, mudah-mudahan tidak terulang lagi lah. sudah cukup rasanya dijadikan pengalaman tuk melamar pekerjaan,,

Ehmm,, check..chekk.. satu, dua, tiga dicoba.. (Ngetes jari mau ngetik,, sudah malam).  Hari ini akhirnya aku berkesempatan juga buat nulis ceritanya.. dan karena banyak kejadian hebatnya aku sampai gak tahu lagi mau buat judulnya apa dan ini lah yang terpikir (Mr. Ipul dan Ummi,, Dihari Jumat).. jreng..jreng..

Cerita dimulai ketika shalat jumat tadi. Jadi, hari jumat itu saya/aku/gue ada kuliah dan masuknya setelah jumat pukul 13:30 Wib. Nah, biasanya gue shalat jumatnya di mesjid kampus dan karena tadi entah karena ke-galau-an apa sampai-sampai malas pergi ke kampus dan berniat setelah shalat jumat saja. Shalat jumat pun selesai dan karena diburu waktu, saya mesti cepat karena jam sudah menunjukka pukul 13:10 wib di jam mesjid tempat saya shalat. Apalagi jarak dari kos-kampus lumayan jauh, sekitar 15 menit menuju halte bus kampus dengan angkot, kemudian sekitar 10 menit menuju gedung kuliah kalau naik angkot lagi dan sekitar 23 menit kalau naik bus kampus yang kecil (berkapasitas 25 tempat duduk) atau 30 menit kalau naik bus kampus yang besar (kapasitasnya sekitar 40 tempat duduk lah). Maklum, saya adalah mahasiswa yang  “Pejabuskot” Pajalan kaki, bus dan angkot. Selesai shalat saya langsung berdoa dan kemudian bergegas menuju kos untuk berangkat kuliah (smp gak sempat dzikir dan shalat sunnah rawatib, huhh..). Sampai di rumah jam sudah menunjukkan pukul 13:20 Wib dan keringat semakin mengucur deras di wajah gue (maklum, harinya panas cuyy,, heheh). Gue ngumpat dalam hati “huh,, jam nya cepat amat, dosennya cuma beri waktu keterlambatan 15 menit, kalau begini bisa-bisa sampai disana jam 2 nih. belum lagi jalan kesimpang, belum lagi tunggu angkot lewat, belum lagi berlari menuju kegedung kuliah,,, ampuunn.. “.

Tiba-tiba eh tiba..tiba, Si Ipul (sapaan kerennya, nama asli syaiful,,hehe), berkata “sudah lah mas, aku antar saja, kasihan pula aku ngeliat mu” (dengan ekspresi mengasihani yang polos). Sontak, gue kaget, dan berkata “tidakkah engkau sedang bercanda?, hari begitu panas dan kau juga tidak ada kuliah sekarang? (lebayy)..Lalu si Ipul berkata “sekali lagi aku ungkapkan, aku kasihan melihat mu, hidupmu sungguh tragis masuk kuliah hari jumat jam 13:30 wib sementara saat ini waktu shalat jumat semakin lama, ditambah dosen mu pun sungguh tega”.. Dengan ekspresi melongo gue cuma bisa ngangguk-ngangguk..

Kita pun berangkat dan Ipul ngebut hingga sampailah di gedung kuliah pukul 13:33 wib, “masih ada waktu toleransi”, ucapku dalam hati. Aku tatap wajahnya dan dengan ekspresi terharu aku hanya bisa berujar “Terima kasih”, lalu Ipul pun berpaling dan begitu juga dengan diriku.

Seperti perkiraan dan harapan, dosennya sudah tiba dan saya pun masih diizinkan untuk masuk dan mengisi absen (horrayy). Ditengah perkuliahan tiba-tiba HP ku berbunyi, aku intip hp ku dan tertulis tertulis “Ummi Calling” di layar. Oh My God, Mybeloved Woman…dari kemarin aku mau telpon beliau tapi gak jadi-jadi (gak ada pulsa), angkat?..tidak?..angkat?..tidak?,,, lalu ku angkat dan dengan buru-buru aku katakan “aslm, Mi.. Lagi kuliah nih,,nanti saja yha”, langsung ku matikan,,. Kejamm,, “apakah aku telah menjadi anak durhaka?”, bibirku berujar pelan

Lalu tiba-tiba dosen menunjuk kearahku, “Hayo, kamu yang IP nya bagus (ini beneran, lho.. hehe), apa maksud dari pernyataan ini? (dalam bahasa inggris). Belum sempat gue jawab terus si Dosen bilang “kamu yang sedang galau karena ip nya menurun, hayo di jawab”. Sontak teman-teman gue pada tertawa mendengar pernyataan ini. Oh no,, darimana si dosen tau kalau kemarin-kemarin saya sempat galau?. huhh.. Saya kemudian memberi penjelasan dari pernyataan tersebut dan..alhamdulillah di apresiasi sama Pak dosen karena jawabannya cukup memuaskanlah,,, (ciee..)

Selesai kuliah, sayateringat si Ummi dan langsung saya sms agar segera menghubungi (maklum,, masih gak punya pulsa juga). Tak berapa lama si Ummi pun menelpon dan bertanya apakah saya masih kuliah. Lalu saya bilang baru saja selesai dan akhirnya obrolan panjang lebar pun terjadi. Hhuhh,, senangnya..

Lucu, Mimpiin Si Ibu…

Posted: Januari 26, 2012 in Cerita Hari Ini, Cerpen

Hari ini, gue tulis cerita mimpi gue tadi malam. Aneh bin lucu menurut gue, dan ini lah yang paling lucu selama yang gue ingat gue pernah mimpi si Ibu (panggilan sayang gue sih biasanya; mii/Ummi/Emak/Mama). Jadi, tadi malam itu gue susah banget tidur, sudah tiga malam terakhir ini keadaannya seperti ini terus, Insomnia tingkat tinggi. Tadi malam gue tertidur jam 12 malam dan terbangun jam 03:40 wIB alias dini hari (rencananya sih mau sahur tapi gak jadi karena air minum lagi habis di kos, heheh).

cerita mimpinya itu, aku pergi ke pasar temanin Ibu (lupa, mau beli apa) naik motor. Nah, waktu mau pulang si Ibu bilang biar Beliau saja yang membawa motrnya sampai ke rumah. Yah, gue sih terkaget-kaget…masa si Ibu sih yang bawa motor, apa kata dunia anak lelaki gentlement nya yang duduk di belakang (alias diboncengan). Tapi ntah kenapa gue rela dan menyetujuinya. Selama di jalan kita berbincang-bincang dengan sedikit perasaan khawatir takut kalau kita jatuh atau bakalan nabrak orang lain (tragedi tugu tani 2). Namun alhamdulillah kita sampai di rumah dengan selamat. Lalu, setelah turun dari motor gue tanya ke ibu, ” mii, sejak kapan bisa naik motor? bukannya si Ummi gak bisa bawa motor, yha?”.. Dan,, mimpi gue pun buyar alias gue terbangun karena alarm sahur berbunyi…

Tadi pagi gue senyum-senyum sendiri mengingat mimpi ini. Pertanda apakah ini? adakah makna di balik mimpi ini?.. Lalu gue teringat, sekarang tanggal 26 Januari 2012, dan ini sudah hampir 12 hari pasca keberangkatan dari rumah untuk kembali kuliah. Dan sudah selama ini aku memang belum pernah telpon si Ibu.. hahaahh,,, tapi masih gak habis pikir juga sama mimpinya.. haduhh…

Kali ini, bukan hari ini sih, tetapi berhari-hari yang lalu, berminggu-minggu atau berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun (maklum, kejadiannya tahun 2011 cuyy,, hehe) nasib apes gue alami, tapi gak sampai tragis lah… pada hari itu (lihat kedinding dengan ekspresi serius) gue iseng-iseng nih nge post cerpen yang udah gue buat dengan susah payah meski sedang galau di note Facebook gue. Ini karena gue terinspirasi ma salah seorang teman gue yang mengaku penulis kere(n) yang kerap kali melakukan hal seperti ini dan kemudian dia nge-tag teman-temannya (termasuk gue) trus minta komentar tentang tulisannya. Nah, apesnya gue adalah gue lupa waktu nge-tag teman-teman fb minta tanggapan CERPEN ini, bagus gak? keren, gak? ceritanya menarik, gak?

Semua berawal dari kejadian tersebut. Cerpen gue ini menggunakan sudut pandang orang pertama alias gue dan isi nyaadalah tentang kegalauan seorang cowok yang gak tahu penyebabnya apa, cinta bertepuk sebelah tangan atau faktor cuaca? (cerpennya juga ada di tulisan blog ini kok, klik disini ). Alhasil, datanglah komentaar-komentar salah sangka, ceritanya dibilang pas banget ma yang gue alami, trus teman-teman kampus gue sampai rela ngubek2 file tugas mata kuliah demi mencari tau siapa wanita beruntung tersebut (ya ile,,), dan hasilnya,, meski tidak ada yang dirasa tepat dengan sangat memaksa di bilanglah kalau orang nya itu si ini dan si itu. Dan tak hanya disitu saja, adik gue yang di kampung pun (North Sumatera) sampai tahu ceritanya (pdhl gak di tag) dan gue disindir habis-habisan… ampuun.. tobatt…(Gaya Radithya dikha). Untuk lebih jelasnya, nih link nya aku kasih,, hehhe http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150242167387330

Mukena Untuk Ibu

Posted: Januari 25, 2012 in Cerpen

By: Rizli Ansyari

Dina kecil sedang berlari menuju sebuah toko bunga di pinggir jalan, dia ingin membelikan ibunya bunga mawar putih sebagai tanda cintanya kepada sang Ibu. Dengan semangat yang membara, Dina terus berlari tanpa terpikir rasa lelah sedikit pun, “hanya berlari kecil begini saja sudah lelah, bagaimana dengan Ibuku yang membawaku di dalam perutnya selama Sembilan bulan?” Pikir Dina dalam hati sembari memberikan motivasi bagi dirinya sendiri.

Sesampainya di pinggir jalan, Dina pun melihat toko bunga yang ditujunya tersebut dan dengan senyum manis diwajahnya Dina berteriak di dalam hati “Mama, tunggu kejutan ku, setangkai mawar putih siap menyambut kepulanganmu”.  Letih yang dirasa Dina pun sepertinya akan segera terbayar lunas.

Tak lama kemudian, Dina pun menyeberang jalan dan menuju toko bunga tujuannya.  Sesampainya di toko tersebut, Dilihatnya satu persatu bunga-bunga yang ada. Dia begitu terpukau akan keindahan bunga-bunga yang penuh warna itu, sesekali di sentuhnya bunga-bunga yang sangat menarik perhatiannya, dia cium, dia peluk, dan,, kemudian dia ditegur oleh si penjaga toko bunga tersebut. “Hai anak manis, mengapa kamu memperlakukan bunga-bunga ini seperti itu?” Tanya si penjaga toko.

“Aku sangat menyukai bunga-bunga ini, Pak” jawab Dina malu-malu.

Kamu mau membeli bunga?” Tanya si penjaga toko lagi .

“Aku ingin membelikan ibu ku bunga mawar putih, Pak. Soalnya dia akan tiba nanti sore” jawab Dina penuh semangat.

“Memangnya ibu mu dari mana?” Tanya si penjaga toko penasaran.

“Ibu ku pulang dari luar Negeri, Pak. Dia bekerja di Malaysia”. Jawab Dina dengan lantang dan penuh rasa bangga.

“oww, Ibu mu TKW ya? Sambut si penjaga toko.

“TKW? Apa it TKW, pak? yang sering disiksa itu yah, pak? Tanya Dina penasaran.

“Oh, lupakan saja, bukan apa-apa kok”. Jawab si penjaga toko gugup. “Oh, ia. Kamu jadinya mau beli bunga yang mana untuk ibu mu? ” sambil mengalihkan pembicaraan.

“Saya mau beli bunga mawar putih, berapa harga satu tangkainya, Pak? Tanya Dina.

“kalau bunga mawar putih, harganya Rp 15.000 per tangkai” Jawab si Penjaga toko.

“yah,, Saya hanya punya uang Rp 10.000, harganya bisa kurang tidak, Pak? Saya ingin sekali memberikan bunga ini kepada Ibu saya. Uang ini saya tabung selama satu minggu ketika Ayah memberitahu bahwa ibu akan pulang hari ini seminggu yang lalu” Terang Dina penuh harap.

“Oh, ia. Kalau boleh tahu, apa pekerjaan ayah kamu, nak? Tanya penjaga toko.

“Ayahku seorang kuli bangunan, Pak. Penghasilannya memang tidak seberapa, tapi saya sangat bangga punya ayah yang hebat. Terang Dina.

“Baiklah kalau begitu, bapak akan memberikan bunga ini dengan harga Rp 10.000 kalau kamu mau melakukan apa yang Bapak suruh”. Jawab si Pejaga toko.

“Baik, Pak. Saya akan melakukan apapun yang Bapak suruh”. Jawab Dina meyakinkan.

“Sebenarnya, melihat tekad kamu ingin membahagiakan ibu mu, bapak mau memberikan bunga itu secara gratis. Hanya saja, Bapak disini hanya sebagai Penjaga Toko, bukan Pemiliknya. Di tambah lagi saat ini bapak tidak punya uang yang lebih untuk menutupi harga bunga itu nantinya, Cuma bisa menambah Rp 5.000 saja”, Terang si Penjaga toko.

“Tidak apa, Pak. Itu sudah sangat membantu saya. Jadi, apa syarat yang harus saya lakukan, Pak?” Tanya Dina penasaran.

“Syaratnya adalah, kalau Ibu mu nanti sudah tiba di rumah, sampaikan salam Bapak kepada ibu mu.” Terang si Penjaga toko sambil tersenyum.

“ha..ha, hanya itu, Pak? Tanya Dina kaget. “Baik, saya akan sampaikan kepada Ibu kalau ada Bapak penjaga toko yang baik kirim salam.”

“Dasar anak pintar, ini bunganya. Jaga baik-baik, ya! Nasihat si Penjaga toko sambil memberikan setangkai mawar putih kepada Dina.

Usai memberikan uangnya, Dina pun mengambil bunga yang diberikan si Penjaga toko tersebut.  Sesegera mungkin Dina kecil berlari menuju rumah dengan penuh rasa bahagia, sambil berteriak kepada penjaga toko “Terima kasih, Pak!”.

Dina kecil kembali berlari-lari riang sambil menggenggam erat bunga yang berada di tangannya takut kalau-kalau bunganya jatuh. Dina berlari sambil sesekali melihat jam dinding di sepanjang toko yang dilewatinya. Jam sudah menunjukkan pukul 14:30 wib dan Dina kecil pun berteriak dalam hati “Ibu akan sampai 30 menit lagi, Ayah bilang Ibu akan tiba pukul tiga sore, sudah dua tahun, bu”.

Tiba dipersimpangan rumahnya, Dina melihat Rino yang sedang duduk  di atas batu besar dengan ekspresi wajah yang tidak biasa. Tatapan kosong Rino menyadarkan Dina bahwa ada sesuatu yang terjadi kepada keluarga Rino, yah, Dina tahu bahwa ini pasti menyangkut masalah keluarganya. Dina pun kemudian menghampiri Rino.

Dalam pertemuan itu, Dina pun akhirnya berhasil membuat Rino buka mulut perihal apa yang terjadi dengan keluarganya. Rino memberitahu bahwa adiknya akan sekolah hari senin, akan tetapi masih belum memiliki perlengakapan sekolah seperti buku, pensil, dan penggaris. Rino telah berusaha dengan berbagai cara, termasuk mengamen. Akan tetapi, Rino mendapatkan musibah karena hasil uang mengamennya tersebut diambil paksa oleh preman setempat. Alhasil, saat ini Rino memang benar-benar tidak memiliki duit sepeser pun.

Mendengar cerita Rino tersebut benar-benar membuat Dina prihatin dan bertekad untuk membantu Rino. Dina tahu bahwa Rino adalah tulang punggung keluarga, ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu, sementara itu, ayahnya dulunya adalah seorang kuli bangunan, sama seperti ayah Dina, tetapi saat ini sudah tidak bekerja lagi karena sakit-sakitan. Dina pun menyadari bahwa Rino memiliki semangat yang kuat untuk menyekolahkan adiknya, sekalipun itu akan menghambat sekolahnya sendiri. Tapi kemudian Dina sadar, dalam hati Dina bertanya kepada dirinya sendiri “dengan apa aku akan membantu Rino? Aku juga tidak memiliki apa-apa lagi, uangku juga sudah habis”. Akan tetapi tekad Dina untuk membantu Rino juga sudah begitu besar, dia sudah mengaggap Rino seperti keluarganya sendiri.

Lalu, pandangan Dina beralih kearah tangan kanannya, tepatnya apa yang digenggam di tangan kanannya, setangkai bunga mawar putih. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hatinya, percampuran antara gundah, keinginan membantu, Rino, adiknya, ibunya, kejutan yang sudah direncanakan, semua saling bereaksi dan bertarung untuk menjadi pemenang. Dina pejamkan matanya, dengan mengucapkan bismillah sembari meminta kekuatan kepada Allah dan berdoa dalam hatinya “ya Allah, Dina ikhlaskan bunga mawar putih ini untuk membantu Rino, Dina rasa Rino yang lebih membutuhkannya, Dina Tahu ya Allah, Engkau adalah Sang Pemurah dan Mahatahu, Jika Engkau mau tentulah Engkau akan menggantinya dengan yang lebih baik, dan Dina hanya mengharapkan keridhoan-Mu ya Allah.”

Dina kecil berdiri, kemudian menggenggam tangan Rino dan kemudian membawa Rino berlari menuju jalan raya, dan di perempatan lampu merah mereka berjalan kesetiap mobil-mobil dan menawarkan bunga tersebut. Alhamdulillah, ada yang mau membelinya dengan harga Rp 13.000. Setelah itu, Dina memberikan seluruh uangnya kepada Rino untuk dibelikan peralatan sekolah adiknya.

Awalnya, Rino tidak mau menerima uang hasil penjualan bunga itu. Tetapi Dina kemudian meyakinkan Rino hingga akhirnya Rino mau menerimanya. Dengan penuh rasa haru, Rino mengucapkan banyak terima kasih kepada Dina dan sambil bercucuran air mata, Rino berlari menuju toko penjualan alat-alat tulis takut kalau tokonya akan tutup.

Dengan tetesan air mata kebahagiaan, Dina kecil berjalan menuju rumah. Dia lihat jam di salah satu toko di pinggir jalan, dan betapa terkejutnya dia karena jam telah menunjukkan pukul 15:25 wib. Dina kecil pun berlari dengan semangat kerinduan, meski sesekali dia masih mengingat bahwa tidak akan ada kejutan menyambut kepulangan ibunya.

Sesampainya di rumah, Dina kaget karena rumahnya dipenuhi tetangga-tetangga dengan suara-suara kegembiraan bercampur isak tangis. Dicarinya ayahnya dan begitu dia  menemukan ayahnya berdiri di antara kerumunan para tetangga, dia langsung berlari menujunya dan  langsung ia peluk. Dina menangis dalam dekapan ayahnya. Lalu, dibelai ayahnya rambutnya, dan kemudian memberikan sebuah bungkusan kepada Dina, “berikan ini kepada Ibu mu, katakan ini dari Ayah dan Dina”. Terkejut, Dina pun bertanya, “apa ini, yah?”. Dengan lembut ayahnya menjawab “ini mukena intuk Ibu mu, ayo cepat berikan. Tadi ibu mu mencari-cari mu, tapi ayah juga tidak tahu kamu dimana. Ayo, berikan kejutan kepada ibu, Itu ibumu” sambil menunjuk ke arah wanita yang memakai baju merah berjilbab putih. Dengan penuh haru, tanpa berpikir panjang Dina berlari menuju sosok wanita yang disebutkan ayahnya tadi, dan langsung memeluk nya dari belakang. Suara tangis kebahagiaan Dina pun disambut jua dengan pelukan dan isak tangis kebahagiaan Sang Ibunda. Lalu, Dengan suara parau bercampur isak tangis, Dina berdiri dan memberikan kado digenggamannya kepada Sang Ibu, “ Ummi, ini dari Ayah”.

 

 

 

 

Dia Lelaki

Posted: Januari 25, 2012 in Cerpen

By: Rizli Ansyari

Sudah lebih tujuh kali Revan membuka surat berwarna  kuning itu. Dia lihat sekilas, kembali melipat kertasnya, dan memasukkan kembali ke dalam amplop merah muda. Resah dan gelisah terlihat dari raut wajah saat dia melakukannya, surat itu memang terasa menyiksanya selama satu pekan ini.

Revan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih berbau religi dan rutin membuka surat kuning itu setiap hari. Dia mengerjakan shalat lima waktu, mengerjakan shalat sunnah seperti tahajjud dan istikhoroh, berzikir, dan mengaji. Namun, ibadah tersebut dia lakukan dengan sesuatu yang sangat berbeda dari yang sebelumnya.

***

Saat ini Revan tinggal di sebuah kamar kecil berukuran  4×5 meter bersama kamar-kamar lainnya yang lebih banyak di huni oleh mahasiswa dan karyawan. Tempat ini adalah tempat kedua yang pernah dihuni oleh Revan setelah meninggalkan  rumahnya, tepatnya rumah mantan orang tuanya.

Kejadian tiga tahun yang lalu itu sebenarnya sulit untuk dilupakan, akan tetapi Revan selalu mencoba tegar dan merasa bahwa dia telah melewati masa-masa itu. Revan, yang dulu merasa bahwa ini adalah jalan terbaik yang akan ditempuhnya karena masa depan yang dia impikan, kini merasa goyah dan lemah. Jika dahulu teman-temannya mengatakan bahwa dia adalah orang yang paling kuat diantara mereka, Revan merasa bahwa pujian dan julukan itu harus dibuang jauh-jauh. Revan kini hanyalah seperti  ranting rapuh diatas pohon dan akan jatuh dengan terpaan angin kecil, benar-benar rapuh.

Tiga tahun yang lalu mungkin dirasakan Revan sebagai masa-masa paling berat yang dialaminya selama hidup. Tetapi ketika berkaca pada keadaan saat ini, dia benar-benar merasa jatuh ke dalam jalan yang terjal untuk kedua kalinya. Tiga tahun yang lalu, dengan penuh keberanian Revan pergi meninggalkan rumah lantaran keluarganya tidak menerima keadaannya, terutama ayahnya. Revan, yang secara jasmani berupa sosok pria yang sebenarnya terlihat tampan, dengan kulitnya yang putih, postur tubuhnya tinggi, dan tidaklah terlalu kerempeng. Jika dia berdandan sedikit kelaki-lakian saja sepertinya bakalan banyak wanita yang suka padanya. Tapi sayang, Revan lebih merasa nyaman dengan menjadi sosok wanita sehingga dia bertingkah kewanita-wanitaan dan lebih memilih pofesi menjadi waria. Dengan keadaannya seperti ini, Revan dianggap hanya akan mempermalukan keluarga saja, apa lagi ayahnya adalah salah seorang anggota Dewan. Ibu dan adik perempuannya sebenarnya masih bisa menerima keadaan Revan, tetapi ayah dan kakak lelakinya merasa bahwa perbuatan Revan tersebut sangat menjijikkan dan suatu tindakan bodoh yang hanya mempermalukan nama keluarga besar mereka. Akhirnya, sang ayah tersebut memberikan pilihan kepada Revan. Revan akan tetap tinggal di rumah jika dia mau berubah, tetapi jika tidak, Revan akan diusir dari rumah, tidak akan mendapatkan harta apapun dari keluarganya, dan bahkan tidak akan dianggap bagian dari keluarga tersebut. Dengan penuh keberanian, Revan memutuskan untuk memilih opsi kedua.

Keluar dari rumah, awalnya Revan bingung harus tinggal dimana. Namun, akhirnya dia mendapat tempat tinggal lantaran temannya menawarkan agar dia tinggal bersamanya. Rumah tempat tinggal Revan yang baru ini bukanlah rumah mewah seperti yang selama ini ditempati olehnya.  Rumah ini adalah rumah yang terbilang sederhana,  dihuni oleh orang-orang yang berprofesi sama, dengan tingkah laku yang sama, dan pandangan hidup serta keinginan yang sama; sama-sama ingin diakui keberadaannya dan diterima masyarakat. Keadaan ini sendiri adalah seperti yang diharapkan Revan sebelumnya. Dia merasa inilah arti kehidupan yang sesungguhnya, berada ditengah orang-orang yang saling mendukung, tidak ada penghinaan, kebersamaan, dan yang pasti akan mendukung pembentukan dan pengembangan karakter tanpa ada hambatan. Meski awalnya ada kendala untuk beradaptasi karena ini adalah pertama kali baginya, apalagi ketika mengingat keluarganya, terutama ibu dan adik perempuannya, dia pasti terus meneteskan air mata. Namun, seiring berjalannya waktu, Revan merasa terbiasa dengan keadaannya, bahkan merasa jauh lebih baik daripada di rumahnya yang dulu. Dia merasa begitu terkesan dan takjub serta rasa tidak percaya bahwa dia kini berada ditengah-tengah sesuatu yang seperti mimpi baginya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup  sehari-hari, Revan atau yang kini sudah lebih akrab disapa Reva dan kawan-kawannya bekerja diberbagai saloon kecantikan. Mereka bekerja di  saloon-saloon yang pemiliknya adalah seorang waria senior yang memiliki sekitar lima salon dengan dua puluh-an karyawan. Namun, merasa penghasilan dari saloon masih belum cukup, mereka juga melakoni profesi malam mereka sebagai waria, ada yang sekadar mengamen dan ada juga yang menggoda pria-pria “buta” hidung belang. Reva sebenarnya tidak suka melakoni pekerjaan ini, hingga suatu malam teman-temannya memaksa dia untuk mencoba, hanya sekedar mencoba. Tak kuasa menahan rayuan dari teman-temannya, Reva pun akhirnya kalah dan menyetujui. Kali ini Reva ditantang oleh temannya untuk menggoda lelaki-lelaki “buta” minimal tiga orang dan harus mampu  mengumpulkan uang Rp 100.000,00.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan selesai berdandan “secantik” mungkin dengan tak lupa memakai wick, Reva dan kawan-kawan pun bergerak menuju tempat pencari nafkah kedua mereka, jalan raya. Sedikit canggung awalnya, Reva pun mulai menguatkan diri dan menganggap bahwa ini adalah tantangan yang harus dia buktikan kepada temannya bahwa dia pasti bisa melakukan segala sesuatu. Bersama teman-temannya, Reva pun mulai berdiri di pinggir-pinggir jalan dan mulai menggoda pria-pria yang lewat, baik pejalan kaki maupun yang berkendara. Reva terlihat mulai enjoy dan sangat-sangat enjoy sampai-sampai dia maju ke jalan demi melambai-lambaikan tangan sembari menggoda orang-orang yang berlalu lalang dengan mobil dan motor. Namun, Tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna hitam terlihat melaju kencang tak terkendali dan mengarah kepada Reva, dan… semua terasa gelap baginya.

***

Membuka mata perlahan-lahan, Reva mulai mencoba mengenali tempat dia berada. Rasa sedikit sakit awalnya menjadi kendala baginya, namun, dia terus berusaha untuk melihat keadaan sekitar dan mencoba mengenali tempat dia berada. Terdengar suara samar-samar memanggil nama lamanya, dan saat Reva sudah mulai melihat dengan jelas, sesosok wanita cantik berbaju kuning dan memakai jilbab berada di depannya sambil menyebut-nyebut nama lamanya, “Revan..Revan… Revan kamu sudah sadar??”

Merasa asing dengan segala sesuatunya, Revan pun mulai berbicara dan menanyakan keberadaan dirinya serta wanita itu. Panjang lebar penjelasan wanita tersebut, yang didapat Revan adalah bahwa saat ini dia berada di Rumah sakit, Revan sudah tiga hari tidak sadarkan diri, Alhamdulillah tidak ada tulangnya yang patah, Wanita itu bernama AzZahra, yang menabrak Revan adalah Kakak laki-laki Azzahra yang saat ini sedang tidak berada di rumah sakit lantaran kerja, dan yang menanggung biaya perobatan Revan adalah keluarga AzZahra.

Dari hubungan yang singkat itulah, Revan dan AzZahra memulai pertemanan mereka yang kemudian berbuah kegelisahan bagi Revan. Revan pun sudah menceritakan tentang jati dirinya serta keluarganya kepada Azzahra. Keluarga AzZahra sendiri sudah sangat akrab dengan Revan dan mereka mengenal keluarga Revan. Namun, Revan mengatakan Bahwa keluarga AzZahra jangan memberitahu dulu keberadaannya kepada keluarganya.

Keluarga AzZahra mencarikan tempat tinggal yang baru bagi Revan. AzZahra memintanya agar jangan lagi tinggal di tempat yang sebelumnya dan dengan penuh pertimbangan, Revan pun menyetujui dengan terlebih dahulu meminta izin kepada teman-temannya. AzZahra terlihat sangat memperhatikan Revan dan begitu juga dengan Revan. Hanya saja, ternyata Azzahra mencampurkan rasa perhatiannya dengan sesuatu yang disebut cinta.

Dua bulan setelah tragedi kecelakaan itu dan dua bulan pula pasca perkenalannya dengan Azzahra, Revan menemui sebuah surat di dalam tasnya. Surat itu dia dapat setelah berkunjung ke rumah Azzahra. Surat berwarna kuning dan beramplop merah muda..

Assalamu alaikum wr wb.

Sebelumnya saya mau minta maaf kepada Revan karena tidak berani memberikan surat ini secara langsung. Saya terpaksa memasukkannya ke dalam tas kamu dan berharap kamu membacanya.

***

Kamu adalah lelaki Revan. Kamu adalah lelaki yang sangat baik seharusnya. Aku tahu apa yang sedang kamu alami, tetapi aku tahu bahwa kamu bisa melewati masa kelam ini. Kamu dilahirkan sebagai sosok lelaki dan seharusnya lah kamu menjadi lelaki. Diluar factor bahwa kamu sudah begini sejak kecil, percayalah bahwa inilah tantangan yang harus kamu taklukkan. Allah tahu kalau kamu itu kuat dan kamu pasti bisa merubah ini semua. Allah tidak akan memberikan suatu tantangan kepada setiap orang yang orang tersebut tidak sanggup melaluinya. Aku percaya kamu bisa.

Mungkin aku akan membuat sedikit kesalahan dengan memberi  surat ini. Jujur saja, selama masa kedekatan kita , aku merasa bahwa kamu adalah lelaki yang sangat baik dan saya sudah menyukai kamu sejak satu bulan yang lalu. Tetapi, saya mohon agar kamu jangan menganggap bahwa permohonan saya di paragraph kedua itu adalah dampak dari permohonan yang ini. Saya memang benar-benar mengaharapkan kamu untuk berubah sekalipun kamu memilih untuk tidak menyukai saya menlebihi arti persahabatan. Tetapi saya mohon berubahlah untuk Allah, berubahlah untuk dirimu sendiri, berubahlah untuk masa depan mu, di dunia dan akhirat.

Saya mohon maaf sekali karena sudah lancang melakukan ini. Tapi jujur, saya hanya berani mengatakannya lewat surat ini. Semoga kamu hanya mengambil sisi positifnya dan memaafkan  sisi negatifnya.

wassalam

Azzahra Rahmawan

 

 

Bukan Bunga Mawar

Posted: Januari 25, 2012 in Cerpen

By : Rizli Ansyari

Dalam dua minggu terakhir ini cuaca di tempat tinggalku sedang tidak bersahabat.  Selama dua minggu tersebut, terhitung hanya tiga hari dari empat belas hari yang tidak turun hujan. Akibatnya, ibuku malas mencuci pakaian, kakakku malas mencuci motor, dan adikku pun jadi malas mandi hujan karena terlalu seringnya hujan turun.

Yah, ntah mengapa ternyata penyakit malas yang disebabkan hujan juga menular kepada ku, aku jadi malas makan.  Aku menyadari kalau ini memang aneh karena sepanjang yang aku sendiri juga tahu hujan akan membuat hari menjadi dingin, orang-orang tidak bisa beraktivitas dengan normal dan bahkan cenderung membuat orang bermalas-malasan di rumah, dan tentunya apa lagi yang dapat dilakukan selain menonton televisi, makan, dan tidur. Aku sendiri juga merasa aneh dengan diriku, bahkan lebih aneh daripada orang yang merokok, menurutku. Yang lebih anehnya lagi adalah betapa aku menyadari bahwa aku mengetahui apa yang membuatku merasa aneh akan tetapi tetap mempertahankan keanehan itu,, aneh kan?!.

Aku selalu ingat pesan ibu ku, “jangan memelihara kesalahan yang sudah kau ketahui” yang kalau aku tidak salah baru dua hari yang lalu terakhir kali ibuku mengatakannya. Aku bahkan masih ingat pesan guru TK-ku lima belas tahun yang lalu “orang yang bodoh adalah orang yang tidak menyadari betapa bodohnya orang itu”. Menurutku sih dulunya  kata-kata ini masih terlalu berat untuk dipahami anak-anak sepolos aku, tapi karena seringnya guru tersebut mengatakan pernyataan ini berulang-ulang, mau tidak mau harus ku dengar dan akhirnya teringat-ingat hingga lima belas tahun berjalan. Dan hasilnya? Aku lah orang bodoh dengan indeks prestasi tertinggi. Kepintaran yang menutupi kebodohan, itu lah diriku.

Bagaimana tidak, aku adalah seorang mahasiswa di sebuah univesitas negeri tanah air dengan indeks prestasi yang hampir menyentuh angka sempurna, hanya kurang nol koma nol sekian saja. Indeks prestasiku pun menjadi yang tertinggi, tidak hanya untuk seangkatanku saja, tetapi sepanjang berdirinya program studi yang ku tempuh di perguruan tinggi tersebut, ip ku lah yang tertinggi yang pernah ada hingga saat ini. Bayangkan, betapa bangganya orang tua dan saudara-saudaraku. Tapi yang anehnya lagi adalah betapa aku merasakan mendapat ip setinggi itu adalah hal yang aneh. Aku tahu kalau aku memang cukup baik di kelas perkuliahan, tetapi aku tahu kalau ternyata aku adalah orang yang bodoh dalam kehidupan di luar perkuliahan. Istilahnya teori mantap, praktik dalam kehidupan sehari-hari nihil. Itu lah aku. Orang yang bisa menyadari dan membaca diri sendiri, selalu berangan-angan untuk berubah dan menjadi lebih baik, tapi tak pernah terjadi. Alhasil, orang-orang disekitarku hanya menyadari bahwa aku adalah anak yang pintar, dan aku cukup menikmatinya dalam beberapa saat, tetapi mencoba bangun dan menyadarkan diri bahwa aku bodoh akan praktik kehidupan sebenarnya, dan tetap begini karena tak pernah berubah. Terkadang aku berpikir, ‘orang bodoh mana yang tidak pernah mau merubah dirinya ketika dia tahu bahwa dirinya bodoh?’, lalu hati kecilku menjawab “itu kau, bodoh”.

Lalu, timbul lagi keanehan di dalam diriku. Aku sebenarnya tahu kalau dalam beberapa hal yang penting aku ini salah. Setelah melakukan kesalahan tersebut aku selalu berusaha untuk instropeksi diri, dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan bodoh yang sama. Akan tetapi, dalam beberapa waktu kemudian, dengan spontan aku akan melakukan kesalahan bodoh yang tak jauh berbeda. Tidak jauh-jauh, bahkan kalau aku di rumah, kakak ku cukup sering menegurku akibat kebodohan yang ku lakukan. Misalnya saja saat membuang sampah sisik-sisik ikan setelah ibuku selesai membersihkannya. Dengan seenaknya aku berjalan membawa sampah sisik ikan tersebut dalam kantong plastik tanpa memperhatikan air yang bercurahan dari kantong plastic  tersebut. Akibatnya, lantai dapur menjadi becek dan bau amis. Setelah ditegur, baru lah aku menyadari betapa bodohnya aku yang tidak menyadari sedari tadi bahwa aku seharusnya membuang plastic sisa ikannya dengan memakai alas dibawahnya, seperti mangkuk atau apalah. Tetapi terlambat, aku memang anak yang aneh. Kakakku memang selalu meledekku dengan perkataan seperti “kalau dirimu, ip saja yang tinggi, tapi susah dalam kehidupan”. Kata-kata seperti itu memang sebenarnya membuat aku tersinggung dan selalu bertekad dalam hati bahwa aku akan lebih baik dan membuktikan kepadanya, tapi apa yang terjadi, semakin hari aku semakin sering mendapatkan perkataan seperti itu. Terkadang aku bertanya dalam hati “dimana tempat mengobati penyakit aneh ini ya?”

Keadaan seperti ini ternyata juga menular kepada kehidupan asmaraku. Sekilas aku memang merasa aneh ketika menyebutkan kehidupan asmara, karena sepanjang ingatanku aku juga masih belum pernah pacaran. Tetapi, kembali timbul hal yang lebih aneh ketika ternyata aku sedang patah hati, benar-benar aneh. “tidak pernah pacaran tapi bisa patah hati?” Pikirku dalam hati. Tapi ini lah aku, pria dengan serba keanehan.

Namanya Bunga, wanita yang seumuran dengan ku, satu kampus dengan ku, satu jurusan dengan ku, satu kelas dengan ku dalam beberapa kelas perkuliahan, dan bahkan saat ini untuk kesekian kalinya satu kelompok dengan ku untuk tugas kelompok pada mata kuliah Etika Administrasi Negara dan Teori Pembangunan. Bunga, wanita yang selalu kusapa Bunga Mawar, dengan mawar-nya tertahan di dalam hati. Wanita yang membuat aku semakin menyadari betapa anehnya aku.

Aku memang sudah menyukai Bunga sejak pertama kali melihat, tepatnya di awal semester satu.  Bahkan selama tiga semester sudah berjalan, aku selalu merasa dekat dengan dia dan dalam setiap mengerjakan tugas kelompok, aku selalu berusaha untuk curi-curi pandang dan mengadakan pendekatan dengannya yang menurutku sudah hal yang luar biasa bagaimana cara ku untuk mendekatinya, baik dengan memperlihatkan nilai-nilai kuis dan hasil ujian ku, memberikan ide-ide dalam penyelesaian tugas kelompok kami, mengambil jatah yang lebih berat dari yang lain, serta yang tak kalah penting adalah bagaimana aku memperlihatkan ip spektakulerku dengan bangga dan penuh rasa harap tetapi dengan ekspresi malu-malu.  Namun, apa yang terjadi, lima belas hari yang lalu benar-benar membuatku semakin aneh. Aku mendengar dari teman-teaman kuliahku bahwa Bunga sudah jadian dengan temanku yang juga sering menjadi teman sekelompokku. Yah, ini adalah keanehan yang sangat aneh yang membuatku semakin aneh.

Hatiku seperti hancur berkeping-keping bagaikan reruntuhan hotel JW. Marriot yang hancur saat di bom oleh teroris. Walaupun menurutku bangunan luarnya tidak begitu rusak dan bahkan tidak berkeping-keping. Wanita yang kusuka ternyata tidak menyukaiku dan lebih memilih pria lain. Efek sampingnya sendiri adalah penyakit malas makan tersebut. Entah apa hubungannya, tetapi aku selalu meniatkan sekalian untuk berdiet.

Dalam kehidupan ku saat ini, ditengah penyakit malas makan yang menyerang, aku selalu memikirkan Bunga dan bagaimana bisa dia lebih memilih orang lain. Akan tetapi, aku juga selalu tersadar bagaimana bisa orang seperti aku akan memiliki Bunga? Menyatakan suka tidak pernah, mengajak keluar rumah juga tidak pernah, hanya mencoba pendekatan lewat tugas kelompok kuliah? Tidak aneh rasanya kalau Bunga lebih memilih pria lain. Yang aneh adalah mengapa hatiku hancur saat wanita yang tidak pernah menjalin hubungan dengan ku berpacaran dengan pria lain? Lalu mengapa aku menjadi orang aneh seperti ini?? Sekilas terpikirlah jawaban itu, “karena musim hujan, mungkin”!.