Karakteristik Good Governance

Posted: Februari 10, 2012 in Manajemen Publik, Tugas Kuliah

Istilah Good Governance belakangan ini memang kian senter terdengar dan menjadi perbincangan hangat dikalangan para akademisi maupun praktisi dalam upaya pelayanan negara. Good governance sendiri menurut Worl Bank adalah “the way state power is used in managing economic and social resources for develovement of society”. Definisi lain mengenai good governance sendiri diberikan oleh United Nation Development Program (UNDP) sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Mengacu pada defenisi diatas, maka kesimpulan sederhana yang didapat adalah bahwa orientasi dari pembangunan sector publik adalah untuk menciptakan good governance yang dapat diwujudkan dengan pelayanan publik. Pendapat lain mengenai good governance diartikan sebagai suatu proses yang mengorientasikan pemerintahan pada distribusi kekuatan dan kewenangan yang merata dalam seluruh elemen masyarakat untuk dapat mempengaruhi keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan publik beserta seluruh upaya pembangunan polutuk, ekonomi, social, dan budaya dalam system pemerintahan (Lijan Poltak Sinambela, 2006).
Birokrat sebagai pihak yang terlibat dalam pelayanan publik tentu memiliki andil yang cukup besar dalam mewujudkan good governance dalam pelayanan publik. Bentuk Pelayanan publik akan terlihat membawa Negara kepada good governance jika karakteristik pelayanan publik tersebut telah sesuai dengan karakteristik Good governance itu sendiri. Dalam hal ini, ada Sembilan karakteristik good governance dari United Nation Development Program (UNDP), yakni;
1. Partisipasi
Konsep partisipasi tentu sejalan dengan system pemerintahan yang demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Partisipasi secara sederhana berarti adanya peran serta dalam suatu lingkungan kegiatan. Peran serta disini menyangkut akan adanya proses antara dua atau lebih pihak yang ikut mempengaruhi satu sama lain yang menyangkut pembuatan keputusan, rencana, atau kebijakan.
Dalam pelayanan publik, partisipasi tidak hanya terjadi diantara pihak pemerintah melalui birokrat yang kemudian membuat kebijakan mengenai bentuk pelayanan yang akan diberikan, tetapi juga harus melibatkan masyarakat sehingga mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dalam pelayanan publik. Dalam hal ini, pemerintah melalui pihak birokrat harus berperan sebagai fasilitator da katalisator yang memberikan pelayanan terbaik yang memang sesuai.
Tujuan utama dari adanya partisipasi sendiri adalah untuk mempertemukan kepentingan yang sama dan berbeda dalam suatu perumusan dan pembuatan kebijakan secara berimbang untuk semua pihak yang terlibat dan terpengaruh. Keterlibatan masyarakat lebih kepada pengharapan akan tertampungnya berbagai aspirasi dan keluhan masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan oleh birokrat selama ini. Masyarakat terlibat baik dalam bentuk perencanaan untuk mengedepankan keinginan terhadap pelayanan publik, perumusan ataupun pembuatan kebijakan, serta juga sebagai pengawas kinerja pelayanan.
Adapun criteria yang perlu dipenuhi dalam pengaplikasian pendekatan partisipatif ini (Lijan Poltak Sinambela, 2006), menyangkut;
1. Pelibatan seluruh stake holder untuk setiap arena perumusan dan penetapan kebijakan
2. penguatan institusi-institusi masyarakat yang legitimate untuk menyuarakan seluruh aspirasi yang berkembang
3. penciptaan proses-proses politik yang negosiatif untuk menentukan prioritas atas collective agreement
4. mendorong pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran kolektif sebagai bagian dari proses demokrasi
2. Rule of law
Rule of low berarti penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang buluh, yang mengatur hak-hak manusia yang berarti adnya supremasi hukum. Menurut Bargir manan (1994), supremasi hukum mengandung arti;
1) Suatu tindakan hukunm hanya sah apabila dilakukan menurut atau berdasarkan aturan hukum tertentu (asas legalitas). Ketentuan hukum hanya dapat dikesampingkan dalam hal kepentingan umum benar-benar menghendaki atau penerapan suatu aturan hukum akan melanggar dasar-dasar keadilan yang berlaku dalam masyarakat (principles of natural justice)
2) Ada jaminan yang melindungi hak-hak setiap orang baik yang bersifat asasi maupun yang tidak asasi dari tindakan pemerintah atau pihak lainnya.
3. Transparansi
Transparansi berarti adanya keterbukaan terhadap publik sehingga dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi badan usaha, terutama para pemberi pelayanan publik. Transparansi menyangkut kebebasan informasi terhadap publik. Satu hal yang membedakan organisasi swasta dan publik adalah dalam masalah transparansi sendiri. Dalam organisasi swasta, keterbukaan informasi bukanlah suatu hal yang menjadi harus. Banyak hal yang dirasa harus dirahasiakan dari publik dan hanya terbuka untuk beberapa pihak. Sementara itu, organisasi publik yang bergerak atas nama publik mengharuskan adanya keterbukaan agar dapat menilai kinerja pelayanan yang diberikan. Dengan begini, akan terlihat bagaimana suatu system yang berjalan dalam organisasi tersebut.
4. Responsif
Responsif berarti cepat tanggap. Birokrat harus dengan segera menyadari apa yang menjadi kepentingan public (public interest) sehingga cepat berbenah diri. Dalam hal ini, Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik harus cepat beradaptasi dalam memberikan suatu model pelayanan. Masyarakat adalah sosok yang kepentingannya tidak bisa disamakan secara keseluruhan dan pada saatnya akan merasakan suatu kebosasanan dengan hal yang stagnan atau tidak ada perubahan, termasuk dalam pemberian pelayanan. masyarakat selalu akan menuntut suatu proses yang lebih mudah/simple dalam memenuhi berbagai kepentingannya. Oleh karena itu, Birokrasi harus dengan segera mampu membaca apa yang menjadi kebutuhan publik.
5. Berorientasi pada consensus
Berorientasi pada consensus berarti pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para actor yang terlibat. Hal ini sejalan dengan konsep partisipatif dimana adanya keterlibatan dari masyarakat dalam merumuskan secara bersama mengenai hal pelayanan publik.
6. Keadilan
Keadilan berarti semua orang (masyarakat), baik laki-laki maupun perempuan, miskin dan kaya memilik kesamaan dalam memperoleh pelayanan publik oleh birokrasi. Dalam hal ini, birokrasi tidak boleh berbuat diskriminatif dimana hanya mau melayani pihak-pihak yang dianggap perlu untuk dilayani, sementara ada pihak lain yang terus dipersulit dalam pelayanan bahkan tidak dilayani sama sekali. Konsep keadilan masih terlihat sulit diterpakan dalam pelayanan publik di Indonesia. Hal ini bisa dipengaruhi karena konflik kepentingan birokrasi.
7. Efektif dan efisien
Efektif secara sederhana berarti tercapainya sasaran dan efisien merupakan bagaimana dalam mencapai sasaran dengan sesuatu yang tidak berlebihan (hemat). Dalam bentuk pelayanan publik, hal ini berarti bagaimana pihak pemberi pelayanan melayani masyarakat seefektif mungkin dan tanpa banyak hal-hal atau prosedur yang sebenarnya bisa diminimalisir tanpa mengurangi efektivitasnya.
8. Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti tanggung gugat yang merupakan kewajiban untuk member pertanggungjawaban dan berani untuk ditanggung gugat atas kinerja atau tindakan dalam suatu organisasi. Dalam pemberian pelayanan publik, akuntabilitas dapat dinilai sudah efektifkah prosedur yang diterapkan oleh organisasi tersbut, sudah sesuaikah pengaplikasiannya, dan bagaiman dengan pengelolaan keuangannya, dan lain-lain. Dalam birokrasi, akuntabilitas yang berarti akuntabilitas publik menjadi sesuatu yang sepertinya menjadi sosok yang menakutkan. Hal ini tentunya disadari dari ketidakjelasan atas kinerja birokrat itu sendiri. Namun, ternyata, banyak cara yang sering dilakukan para birokrat dalam menutupi kesalahan sehingga akuntabilitasnya terlihat baik.
Menurut Turner dan Hulme (Mardiasmo, 2002), menerapkan akuntabilitas memang sangatlah sulit, bahkan lebih sulit dalam memberantas korupsi. Akuntabilitas saat ini menjadi konsep utama yang harus diterapkan dalam organisasi publik dalam mendongkrak kinerja mereka tentunya. Tuntutan akan akuntabilitas tidak hanya menekankan pada tanggung gugat secara vertical dalam artaian antara bawahan terhadap atasan, tetapi juga secara horizontal yang berarti terhadap masyarakat.
Elwood (Mardiasmo,2002) menyatakan bahwa ada empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi dalam organisasi sector publik, yang juga termasuk birokrasi, yakni;
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and legality)
2. Akuntabilitas Proses (process accountability)
3. Akuntabilitas Program (program accountability)
4. Akuntabilitas Kebijakan (policy accountability)

9. Strategic vision
Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan. Pemerintah dan masyarakat harus memiliki kesatuan pandangan sesuai visi yang diusung agar terciptanya keselarasan dan integritas dalam pembangunan, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, kondisi social, dan budaya masyarakat.

Sumber Bacaan

Sebagian dikutip dalam buku Yeremias T. Keban. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Yogyakarta : Gava Media

Tinggalkan komentar