Archive for the ‘Administrasi/Manajemen’ Category

Administrasi Internasional

Secara sederhana, Administrasi internasional bisa dikatakan sebagai administrasi yang ruang llingkupnya internasional. Administrasi yang diartikan sebagai rangkaian kegiatan kerjasama dalam upaya pemanfaatan segala sumber daya demi mencapai tujuan, hanya tinggal mendefenisikan bahwa kerjasama yang terjadi adalah kerjasama internasional. Lebih lanjut, Administrasi internasional adalah administrasi secara internasional melintasi batas-batas Negara, melibatkan antara Negara dengan Negara,antara Negara dengan organsasi internasional atau antara organisasi internasional satu sama lainnya. Intinya, kegiatan dalam administrasi internasional meliputi dua hal,yaitu : a. Kegiatan Negara yang pada umumnya diatur bedasarkan hukum public b. Kegiatan individu dan kelompok yang pada umumnya diatur berdasarkan hukum perdata.

Organisasi internasional

Jika administrasi internasional adalah serangkaian proses kegiatan kerjasama intrenasional, maka organisasi internasional adalah wadahnya. Organisasi internasional secara lebih terperinci didefenisikan sebagai adanya pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda. Tidak semua kerjasama internasional selalu diwujudkan dalam bentuk organisasi internasional, bisa juga dengan melalui perjanjian dan sekepatan internasional. Sehingga dengan demikian perlu diketahui apa-apa saja unsure yang harus terdapat dalam suatu kerjasama internasionla tersebut agar dapat dikatakan organisasi internasional.

Adapun unsure-unsur tersebut meliputi: 1. Kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas Negara 2. Mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama 3. Hubungannya bisa saja anatar pemerintah maupun non-pemerintah 4. Struktur organisasi yang jelas dan lengkap 5. Melaksanakan fungsi secara berkesinambungan Adapun menurut couloumbis dan wolfe untuk pendefenisian Organisasi internasional dapat dikaji melalui tiga pendekatan : 1. Dari segi tujuan organisasi, bersifat internasional yaitu bahwa kegiatannya melintasi batas-batas Negara nasional 2. Dari tinjauan terhadap model-model dan kelembagaan organisasi internasional yang dewasa ini. 3. Sebagai proses yang mendekati taraf pengaturan oleh suatu bentuk pemerintahan, dalam hubungan yang mencangkup baik antara Negara dengan Negara maupun natara actor-aktor bukan Negara.

a.    Pengertian E-Government

E-Government memiliki banyak defenisi dimana hampir setiap lembaga penting atau bahkan pemerintahan Negara memiliki defenisi tentang E-Government. Namun, defenisi tersbut biasanya tidaklah jauh berbeda yang intinya adalah penggunaan Teknologi dan Informasi dalam Aktivitas Pemerintah. Berikut ini disajikan defenisi E-Government.

UNDP            : E-Government adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT- Information and Communicat-ion Technology) oleh pihak pemerintahan.

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia  Nomor  3  Tahun  2003  Tentang  Kebijakan Dan Strategi Nasional  dinyatakan bahwa Pengembangan E-Government Pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif  dan efisien

Clay G. Wescott (Pejabat Senior Asian Development Bank): E-government adalah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk mempromosikan pemerintahan yang lebih effisien dan penekanan biaya yang efektif, kemudahan fasilitas layanan pemerintah serta memberikan akses informasi terhadap masyarakat umum, dan membuat pemerintahan lebih bertanggung jawab kepada masyarakat

b.    Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penggunaan E-Government secara menyeluruh mencakup pada:

1.      Government to Citizens (Pemerintah ke Masyarakat)

Pemerintah membangun dan menerapkan berbagai aplikasi teknologi informasi untuk memperbaiki hubungan interaksi dengan masyarakat. Contoh : E-KTP

2.      Government to Business (Pemerintah ke Pelaku Usaha)

Contohnya pada proses perizinan pendirian usaha dan investasi, pengadaan lelang oleh pemerintah, dan kegiatan lain yang membutuhkan informasi secara online bagi pelaku usaha.

3.      Government to Government (Pemerintah ke Pemerintah)

Memperlancar kerjasama antar negara dengan dimudahkannya komunikasi, seperti kepentingan diplomasi, atau berbagai informasi yang dianggap penting oleh negara yang satu dan lainnya.

4.      Government to Employees (Pemerintah ke Aparatnya)

keadaan internal juga menjadi tempat diterapkannya E-Gov dalam upaya kemudahan informasi atau akses berbagai tugas/hasil kerja dan lainnya. Contohnya bisa diumpamakan seperti system KRS online yang diberlakukan di Universitas dimana Rektorat menjadi Pemerintah dan Dosen serta mahasiswa/i menjadi aparat yang berada dalam suatu organisasi.

 

Sebagian sumber dikutip pada:

http://www.rifaizaonline.co.cc/index.php/teknologi/business-tech/409-definis-egov.html diakses pada hari minggu, 29 Januari 2012 pukul 23:02 WIB.

Kuliah Online Universitas Komputer Indonesia, Bab Vmanfaat Dan Ruang Lingkup E-Government, dalam http://kuliahonline.unikom.ac.id/?listmateri/&detail=964&file=/BAB-V-MANFAAT-RUANG-LINGKUP-EGOV.html. diakses pada hari minggu, 29 januari 2012 pukl 22:48 WIB.

Instruksi Presiden Republik Indonesia  Nomor  3  Tahun  2003  Tentang  Kebijakan Dan Strategi Nasional  Pengembangan E-Government, diakses dalam www.deptan.go.id/bdd/admin/i_presiden/Inpres-03-03.pdf. Mminggu, 29 Januari 2012 pukl 22:54 WIB.

 

 

 

Keberadaan birokrasi memegang peranan penting dalam proses penyelenggraan negara dalam upaya pemberian pelayanan kepada masyarakat. Jika birokrasi berjalan dengan baik, maka akan semakin baik pula penyelenggaraan suatu negara dan sebaliknya, ketika birokrasi dianggap buruk, maka akan sangat mempengaruhi penyelenggaraan negara karena menyangkut masyarakat luas. Birokrasi merupakan hasil penterjemahan terhadap keputusan politik yang berupa kebijakan pemerintah, dan birokrasi hadir sebagai bentuk pengelolaan atas kebijakan tersebut secara operasional untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi. Disadari atau tidak, birokrasi merupakan factor penentu kesuksesan program atau agenda pemerintah.
Namun, ketika mendengar birokrasi, maka yang terbesit disebagian besar pikiran masyarakat adalah suatu proses panjang yang berbelit-belit dengan hasil yang juga kurang memuaskan. Birokrasi yang keberadaannya diharapkan akan mempermudah masyarakat namun telah menjadi suatu momok yang menakutkan bagi masyarakat yang menjadi objek ataupun sasaran dari keberadaan birokrasi itu sendiri. Anggapan masyarakat saat ini adalah bagaimana agar dalam kehidupannya bisa jauh dari birokrasi Indonesia, “kalau mau berurusan dengan birokrasi tanah air, maka sediakanlah waktu yang banyak dan bersiaplah untuk capek, dan sediakan uang yang cukup”.
Keadaan ini cukup ironis mengingat dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih membutuhkan bimbingan dan arahan dari pemerintah, justru dibuat “jera” terlebih dahulu. Masyarakat tentu memiliki berbagai kepentingan yang ketika ingin melaksanakan kepentingan tersebut harus terlebih dahulu menghadap birokrasi. Namun, masalah yang “ruwet” dan “ribet” mendorong sebagian besar masyarakat untuk menunda ataupun mengurungkan niatnya. Keadaan ini tentunya akan bisa berdampak membuat masyarakat semakin pasif dan bahkan akhirnya bisa berdampak apatis.
Keadaan birokrasi yang seperti ini harus diakui dipengaruhi oleh Sumber Daya manusia yang terlibat dalam birokrasi itu sendiri seperti birokrat ataupun aparatur negara lainnya yang juga tak lepas dari etika mereka terhadap profesi mereka sendiri. Saling tarik ulur kepentingan politik dengan mengutamakan kepentingan pribadi maupun kelompok merupakan salah satu yang menyebabkan keadaan birokrasi yang tidak efisien dimana berbagai kebijakan yang dibuat pihak-pihak elit hanya berpihak kepada sebagian golongan saja bukan kepada masyarakat itu sendiri. Keadaan ini masih diperparah dengan moralitas dari para pegawai yang terlibat dalam birokrasi itu sendiri. Masyarakat yang seharusnya menjadi costumer yang menjadi pihak yang dilayani berubah menjadi pihak yang harus mengemis-ngemis demi mendapatkan pelayanan publik. Belum lagi praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepoteisme (KKN) seperti menambah-nambah biaya pelayanan, mengutamakan pihak yang membayar lebih, ataupun lebih mengutamakan teman dekat dan keluarga. Buruknya etika aparatur negara mau tidak mau harus menjadi perhatian penting yang harus ditemukan solusinya agar tercipta suatu bentuk birokrasi yang benar-benar berfungsi sebagai alat negara dalam penyelenggaraan negara melalui bentuk pelayanan publik terhadap masyarakat luas dengan bercirikan efektif, efisien, ekonomis, transparans, dan akuntabilitas.

“Pengambilan keputusan” tentu tak  asing lagi bagi telinga setiap orang baik untuk sekedar diucapkan ataupun dilakukan. Setiap orang dari segala kalangan dan lapisan masyarakat pasti pernah melakukan kegiatan ini. Namun demikian, pembahasan “Pengambilan Keputusan” dalam kajian ini lebih diarahkan pada mereka yang memiliki posisi-posisi startegis dalam suatu organisasi yang kegiatan sehari-harinya tidak terlepas pada pengambilan keputusan dalam upaya kemajuan suatu organisasi dengan tidak “mengatakan” bahwa mereka yang tidak dalam posisi ini tidak berhak untuk membuat suatu keputusan.

Seorang presiden, menteri, manajer, eksekutif, panglima, direktur, bupati, gubernur dan pejabat apa pun lainnya adalah mereka yang kesehariannya tidak terlepas dalam kegiatan pengambilan keputusan yang menyangkut banyak orang. Sebagian besar dari waktu mereka harus dicurahkan pada upaya pengambilan keputusan. lantas tentu timbul pertanyaan, apa yang sebenarnya dimaksud “keputusan” dan mengapa terjadi pengambilam keputusan serta apa tujuannya?”

Keputusan (decision) oleh berbagai ahli dalam memberikan pengertian berarti pilihan (choice). Pilihan tentu terdiri atas dua hal atau lebih kemungkinan yang nantinya akan dipilih. Namun, yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah bahwa pilihan-pilihan tersebut bukanlah pilihan antara yang benar dan salah, melainkan pilihan yang “hampir benar” dan yang “mungkin salah”(Drucker, 1990)[1]. Dalam makna keputusan, pilihan secara lebih dipertajam dinyatakan sebagai “pilihan nyata” yang berarti bahwa keputusan dibuat untuk mencapai suatu tujuan dan ia merupakan keadaan akhir dari suatu proses pengambilan keputusan. Hal ini juga dipertegas oleh pendapat Morgan dan Cerullo (1984)[2] yang mendefenisikan keputusan sebagai “sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan.

Jika keputusan adalah hasil akhir atau dinyatakan sebagai kesimpulan yang siap untuk dilaksanakan, maka pengambilan keputusan bisa dikatakan sebagai proses berupa serangkaian kegiatan/tindakan yang dilakukan dalam memilih dari alternatif yang ada dalam menghasilkan keputusan. Serangkaian kegiatan atau tindakan tersebut juga harus memiliki pendekatan yang ilmiah dan teruji yang dalam hal ini kembali terjadi proses pemilihan dalam penggunaan pendekatan sebagai upaya pengambilan keputusan. Hal ini senada dengan pendapat Sondang P. Siagian (1988) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah[3]. Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa pengambilan keputusan bukan hanya terpaku dan selesai dengan adanya keputusan saja, tetapi keputusan itu satu paket dengan tindakan sehingga dengan dilakukan suatu pemilihan terhadap alternatif yang ada tetapi tidak dilaksanakan tidaklah dinamakan sebagai keputusan melainkan hanyalah sebagai hasrat atau niat baik (Drucker, 1967; Hoy, 1978)[4].


[1] Peter F. Drucker, Eksekutif yang efektif, dalam buku Prof. Dr. J. Salusu, 2002. Pengambilan Keputusan Strategik. (Jakarta, Grasindo). hlm. 51.

[2] ibid

[3] diambil dalam blog Akhmad Sudrajad : Tentang Pendidikan. Konsep Dasar Pengambilan Keputusan. Dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/05/16/pengambilan-keputusan/

[4] Dalam Buku Prof. Dr. J. Salusu. 2002. Pengambilan Keputusan Strategik. (Jakarta, Grasindo). Hlm.48.